UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang
merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga
kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan
tujuan pembangunan;
c.
bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja,
diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga
kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d.
bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan
serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha;
e.
bahwa beberapa Undang-Undang di bidang ketenagakerjaan
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada
huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.
Mengingat:
Pasal
5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan
Persetujuan Bersama Antara:
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun untuk masyarakat.
3.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalandalam bentuk lain.
4.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha,
badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalambentuk lain.
5.
Pengusaha adalah:
a.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
6.
Perusahaan adalah:
a.
setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.
usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
7.
Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan
rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8.
Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian,
dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen
yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9.
Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk
memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan
keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10.
Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
11.
Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja
yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan
dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur
atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau
jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
12.
Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk
mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat
memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan
pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13.
Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14.
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak.
15.
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah, dan perintah.
16.
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang
terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
17.
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
18.
Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan
konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat
buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19.
Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi,
konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya
terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah.
20.
Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara
tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan.
21.
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua
belah pihak.
22.
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.
23.
Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang
direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat
pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24.
Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan
pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk
menjalankan pekerjaan.
25.
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan pengusaha.
26.
Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun.
27.
Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan
pukul 18.00.
28.
1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat)
jam.
29.
Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30.
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.
31.
Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan
kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung
dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan
sehat.
32.
Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan
menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
33.
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
BAB II
LANDASAN,
ASAS, DAN TUJUAN
Pasal
2
Pembangunan
ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal
3
Pembangunan
ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal
4
Pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan:
a.
memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara
optimal dan manusiawi;
b.
mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c.
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan; dan
d.
meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB
III
KESEMPATAN
DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal
5
Setiap
tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Pasal
6
Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
BAB IV
PERENCANAAN
TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN
Pasal
7
(1)
Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah
menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2)
Perencanaan tenaga kerja meliputi:
a.
perencanaan tenaga kerja makro; dan
b.
perencanaan tenaga kerja mikro.
(3)
Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan
program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus
berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal
8
(1)
Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi
ketenagakerjaan yang antara lain meliputi:
a.
penduduk dan tenaga kerja;
b.
kesempatan kerja;
c.
pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d.
produktivitas tenaga kerja;
e.
hubungan industrial;
f.
kondisi lingkungan kerja;
g.
pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h.
jaminan sosial tenaga kerja.
(2)
Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah
maupun swasta.
(3)
Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi
ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN
KERJA
Pasal
9
Pelatihan
kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan
kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.
Pasal
10
(1)
Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan
kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja.
(2)
Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program
pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja.
(3)
Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar
kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal
11
Setiap
tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.
Pasal
12
(1)
Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau
pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2)
Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan
yang diatur dengan Keputusan Menteri.
(3)
Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk
mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal
13
(1)
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan
kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.
(2)
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat
pelatihan atau tempat kerja.
(3)
Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan
swasta.
Pasal
14
(1)
Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan
hukum Indonesia atau perorangan.
(2)
Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3)
Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran
lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal
15
Penyelenggara
pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan:
a.
tersedianya tenaga kepelatihan;
b.
adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c.
tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya
dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal
16
(1)
Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh
izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat
memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi.
(2)
Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bersifat independen terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
(3)
Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
17
(1)
Instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan
penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam pelaksanaannya ternyata:
a.
tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau
b.
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(2)
Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran
perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3)
Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan
pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4)
Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam)
bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan.
(5)
Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan
tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan
pendaftaran penyelenggara pelatihan.
(6)
Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara,
penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal
18
(1)
Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi
kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan
kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat
kerja.
(2)
Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja.
(3)
Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4)
Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk
badan nasional sertifikasi profesi yang independen.
(5)
Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang
independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
19
Pelatihan
kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan
jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang
bersangkutan.
Pasal
20
(1)
Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka
pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional
yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau
sektor.
(2)
Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem
pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal
21
Pelatihan
kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
Pasal
22
(1)
Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan
antara peserta dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis.
(2)
Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan
pengusaha serta jangka waktu pemagangan.
(3)
Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian
pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status
peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal
23
Tenaga
kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi
kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Pasal
24
Pemagangan
dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah
Indonesia.
Pasal
25
(1)
Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia
wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2)
Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), penyelenggara pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di
luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal
26
(1)
Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia
harus memperhatikan:
a.
harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b.
penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c.
perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan,
termasuk melaksanakan ibadahnya.
(2)
Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan
pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indonesia apabila di dalam
pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal
27
(1)
Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi
persyaratan untuk melaksanakan program pemagangan.
(2)
Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Menteri harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan
negara.
Pasal
28
(1)
Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan
kebijakan serta melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk
lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2)
Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga
koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Presiden.
Pasal
29
(1)
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan.
(2)
Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke
arah peningkatan relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan
kerja dan produktivitas.
(3)
Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dilakukan melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja,
teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas
nasional.
Pasal
30
(1)
Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.
(2)
Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang
bersifat lintas sektor maupun daerah.
(3)
Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga
produktivitas nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Presiden.
BAB VI
PENEMPATAN
TENAGA KERJA
Pasal
31
Setiap
tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan,
atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di
luar negeri.
Pasal
32
(1)
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas
terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2)
Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan
tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan,
bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi,
dan perlindungan hukum.
(3)
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan
memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai
dengan kebutuhan program nasional dan daerah.
Pasal
33
Penempatan
tenaga kerja terdiri dari:
a.
penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan
tenaga kerja di luar negeri.
Pasal
34
Ketentuan
mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
Pasal
35
(1)
Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat
merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan
tenaga kerja.
(2)
Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan
tenaga kerja.
(3)
Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup
kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga
kerja.
Pasal
36
(1)
Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan
tenaga kerja.
(2)
Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang
meliputi unsur-unsur:
a.
pencari kerja;
b.
lowongan pekerjaan;
c.
informasi pasar kerja;
d.
mekanisme antar kerja; dan
e.
kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3)
Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk
terwujudnya penempatan tenaga kerja.
Pasal
37
(1)
Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari:
a.
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan; dan
b.
lembaga swasta berbadan hukum.
(2)
Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga
kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal
38
(1)
Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung
maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan
pengguna tenaga kerja.
(2)
Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan
tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan
jabatan tertentu.
(3)
Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB
VII
PERLUASAN
KESEMPATAN KERJA
Pasal
39
(1)
Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan
kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2)
Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan
perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3)
Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di
setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(4)
Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan,
dan dunia usaha perlu membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan
masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan
kerja.
Pasal
40
(1)
Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja
dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan
mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi
tepat guna.
(2)
Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga
kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna,
dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong
terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal
41
(1)
Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan
perluasan kesempatan kerja.
(2)
Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi
pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dapat dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan
unsur masyarakat.
(4)
Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan
pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan
ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VIII
PENGGUNAAN
TENAGA KERJA ASING
Pasal
42
(1)
Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2)
Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan
tenaga kerja asing.
(3)
Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja
asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
(4)
Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya
dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5)
Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6)
Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh
tenaga kerja asing lainnya.
Pasal
43
(1)
Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus
memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2)
Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sekurangkurangnya memuat keterangan:
a.
alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b.
jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam
struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
c.
jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d.
penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai
pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan
negara asing.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
44
(1)
Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan
mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.
(2)
Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
45
(1)
Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
a.
menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai
tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan
alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan
b.
melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga
kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau
komisaris.
Pasal
46
(1)
Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang
mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2)
Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
47
(1)
Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap
tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.
(2)
Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing,
badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan
jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3)
Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4)
Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
48
Pemberi
kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal
49
Ketentuan
mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN
KERJA
Pasal
50
Hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Pasal
51
(1)
Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2)
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
52
(1)
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a.
kesepakatan kedua belah pihak;
b.
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.
adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b
dapat dibatalkan.
(3)
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d
batal demi hukum.
Pasal
53
Segala
hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan
oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal
54
(1)
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang
kurangnya memuat:
a.
nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b.
nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c.
jabatan atau jenis pekerjaan;
d.
tempat pekerjaan;
e.
besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.
syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja/buruh;
g.
mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.
tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.
tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2)
Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3)
Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang
sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu)
perjanjian kerja.
Pasal
55
Perjanjian
kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan
para pihak.
Pasal
56
(1)
Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu.
(2)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas:
a.
jangka waktu; atau
b. selesainya
suatu pekerjaan tertentu.
Pasal
57
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara
tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak
tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3)
Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia
dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara
keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa
Indonesia.
Pasal
58
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2)
Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang
disyaratkan batal demi hukum.
Pasal
59
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat
untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a.
pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya;
b.
pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang
atau diperbaharui.
(4)
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas
jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya
boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5)
Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja
waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja
waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6)
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat
diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya
perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu
tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.
(8)
Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal
60
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat
mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2)
Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal
61
(1)
Perjanjian kerja berakhir apabila:
a.
pekerja meninggal dunia;
b.
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c.
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d.
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2)
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya
pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan,
pewarisan, atau hibah.
(3)
Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4)
Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal
dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah
merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5)
Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris
pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal
62
Apabila
salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.
Pasal
63
(1)
Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat
secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi
pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2)
Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
sekurang kurangnya memuat keterangan:
a.
nama dan alamat pekerja/buruh;
b.
tanggal mulai bekerja;
c.
jenis pekerjaan; dan
d. besarnya
upah.
Pasal
64
Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis.
Pasal
65
(1)
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang
dibuat secara tertulis.
(2)
Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a.
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.
dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung
dari pemberi pekerjaan;
c.
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan; dan
d.
tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3)
Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus berbentuk badan hukum.
(4)
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(5)
Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6)
Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7)
Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja
waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59.
(8)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan
kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9)
Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja
pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7).
Pasal
66
(1)
Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.
(2)
Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b.
perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c.
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d.
perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh
dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.
(3)
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka
demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
BAB X
PERLINDUNGAN,
PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
Bagian
Kesatu
Perlindungan
Paragraf
1
Penyandang
Cacat
Pasal
67
(1)
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang
cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.
(2)
Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf
2
Anak
Pasal
68
Pengusaha
dilarang mempekerjakan anak.
Pasal
69
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat
dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan
15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2)
Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a.
izin tertulis dari orang tua atau wali;
b.
perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau
wali;
c.
waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d.
dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu
sekolah;
e.
keselamatan dan kesehatan kerja;
f.
adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g.
menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a,
b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal
70
(1)
Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang
merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat
yang berwenang.
(2)
Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
berumur 14 (empat belas) tahun.
(3)
Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan dengan syarat:
a.
diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan
pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal
71
(1)
Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat
dan minatnya.
(2)
Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat:
a.
di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b.
waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c.
kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu
perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
(3)
Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan
bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal
72
Dalam
hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal
73
Anak
dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal
74
(1)
Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada
pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2)
Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam
ayat (1) meliputi:
a.
segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau
sejenisnya;
b.
segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau
perjudian;
c.
segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau;
d.
semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak.
(3)
Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal
75
(1)
Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan
anak yang bekerja di luar hubungan kerja.
(2)
Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf
3
Perempuan
Pasal
76
(1)
Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18
(delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00.
(2)
Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan
hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00.
(3)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib:
a.
memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b.
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4)
Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 05.00.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(4) diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf
4
Waktu
Kerja
Pasal
77
(1)
Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu
kerja.
(2)
Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
a.
7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.
8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3)
Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4)
Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau
pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal
78
(1)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a.
ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3
(tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja
lembur.
(3)
Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4)
Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja
lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal
79
(1)
Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada
pekerja/buruh.
(2)
Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), meliputi:
a.
istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah
jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat
tersebut tidak termasuk jam kerja;
b.
istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu;
c.
cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari
kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus; dan
d.
istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan
dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi
pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus
pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3)
Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
(4)
Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan
tertentu.
(5)
Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
80
Pengusaha
wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan
ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal
81
(1)
Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan
sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari
pertama dan kedua pada waktu haid.
(2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
Pasal
82
(1)
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat
selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu
setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau
bidan.
(2)
Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran
kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai
dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pasal
83
Pekerja/buruh
perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk
menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal
84
Setiap
pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat
upah penuh.
Pasal
85
(1)
Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur
resmi.
(2)
Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk
bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut
harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain
berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
wajib membayar upah kerja lembur.
(4)
Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf
5
Keselamatan
dan Kesehatan Kerja
Pasal
86
(1)
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas:
a.
keselamatan dan kesehatan kerja;
b.
moral dan kesusilaan; dan
c.
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama.
(2)
Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna
mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan
dan kesehatan kerja.
(3)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
87
(1)
Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen
perusahaan.
(2)
Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Pengupahan
Pasal
88
(1)
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2)
Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah
menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3)
Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi:
a.
upah minimum;
b.
upah kerja lembur;
c.
upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d.
upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di
luar pekerjaannya;
e.
upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f.
bentuk dan cara pembayaran upah;
g.
denda dan potongan upah;
h.
hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i.
struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j.
upah untuk pembayaran pesangon; dan
k.
upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4)
Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal
89
(1)
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat
(3) huruf a dapat terdiri atas:
a.
upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b.
upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi
atau kabupaten/kota.
(2)
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3)
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan
Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4)
Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan
hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal
90
(1)
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2)
Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3)
Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
91
(1)
Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak
boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2)
Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah
pekerja/buruh menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal
92
(1)
Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan
memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2)
Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala
dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3)
Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
93
(1)
Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan
pekerjaan.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
a.
pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan
pekerjaan;
b.
pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan
kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c.
pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh
menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan
atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang
tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d.
pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e.
pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f.
pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah
dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan
sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g.
pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h.
pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat
buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i.
pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari
perusahaan.
(3)
Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut:
a.
untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus
perseratus) dari upah;
b.
untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh
lima perseratus) dari upah;
c.
untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh
perseratus) dari upah; dan
d.
untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus)
dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4)
Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak
masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut:
a.
pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga)
hari;
b.
menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c.
mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
d.
membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e.
isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari;
f.
suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu
meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g.
anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia,
dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
(5)
Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal
94
Dalam
hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya
upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah
pokok dan tunjangan tetap.
Pasal
95
(1)
Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena
kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2)
Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya
mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan
persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3)
Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha
dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
(4)
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Pasal
96
Tuntutan
pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja
menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak.
Pasal
97
Ketentuan
mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak,
dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
98
(1)
Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan
kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk
pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2)
Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat
buruh, perguruan tinggi, dan pakar.
(3)
Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan
Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi
keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas
dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2), diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian
Ketiga
Kesejahteraan
Pasal
99
(1)
Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
(2)
Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
100
(1)
Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2)
Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan
ukuran kemampuan perusahaan.
(3)
Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas
kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal
101
(1)
Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk
koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2)
Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan
mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB XI
HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
102
(1)
Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah
mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2)
Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh
dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan
sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan
keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan
anggota beserta keluarganya.
(3)
Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan
organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan
usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh
secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Pasal
103
Hubungan
Industrial dilaksanakan melalui sarana:
a.
serikat pekerja/serikat buruh;
b.
organisasi pengusaha;
c.
lembaga kerja sama bipartit;
d.
lembaga kerja sama tripartit;
e.
peraturan perusahaan;
f.
perjanjian kerja bersama;
g.
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagian
Kedua
Serikat
Pekerja/Serikat Buruh
Pasal
104
(1)
Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(2)
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola
keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3)
Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
www.hukumonline.com
Bagian
Ketiga
Organisasi
Pengusaha
Pasal
105
(1)
Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota
organisasi pengusaha.
(2)
Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bagian
Keempat
Lembaga
Kerja Sama Bipartit
Pasal
106
(1)
Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh)
orang pekerja/ buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2)
Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal
ketenagakerjaan di perusahaan.
(3)
Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur
pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili
kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan
keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian
Kelima
Lembaga
Kerja Sama Tripartit
Pasal
107
(1)
Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan,
saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan
kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
(2)
Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), terdiri dari:
a.
Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/ Kota; dan
b.
Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3)
Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
(4)
Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama
Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Keenam
Peraturan
Perusahaan
Pasal
108
(1)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang
mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2)
Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki
perjanjian kerja bersama.
Pasal
109
Peraturan
perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan.
Pasal
110
(1)
Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran
dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2)
Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah
terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3)
Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum
terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis
untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal
111
(1)
Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
a.
hak dan kewajiban pengusaha;
b.
hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c.
syarat kerja;
d.
tata tertib perusahaan; dan
e.
jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2)
Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua)
tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4)
Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila
serikat pekerja/ serikat buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5)
Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan
perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal
112
(1)
Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah
diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah
peraturan perusahaan diterima.
(2)
Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan
peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk,
maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
(3)
Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri
atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada
pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
(4)
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah
diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal
113
(1)
Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka
waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha
dan wakil pekerja/buruh.
(2)
Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
Pasal
114
Pengusaha
wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan
atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal
115
Ketentuan
mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan
Menteri.
Bagian
Ketujuh
Perjanjian
Kerja Bersama
Pasal
116
(1)
Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2)
Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah.
(3)
Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa
Indonesia.
(4)
Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat
tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut
harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan
terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3).
Pasal
117
Dalam
hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Pasal
118
Dalam
1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal
119
(1)
Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat
pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak
mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama
dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2)
Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki
jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili
pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat
buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan
suara.
(3)
Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama
dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2).
Pasal
120
(1)
Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh
melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan
tersebut.
(2)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi
sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh
jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan
dengan pengusaha.
(3)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh
membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal
121
Keanggotaan
serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120
dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal
122
Pemungutan
suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat
pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.
Pasal
123
(1)
Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2
(dua) tahun.
(2)
Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3)
Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama
berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya
perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) tidak mencapai kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang
berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal
124
(1)
Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat:
a.
hak dan kewajiban pengusaha;
b.
hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta
pekerja/buruh;
c.
jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian
kerja bersama; dan
d.
tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja
bersama.
(2)
Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang
berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal
125
Dalam
hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama,
maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian
kerja bersama yang sedang berlaku.
Pasal
126
(1)
Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan
pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja
bersama.
(2)
Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh
pekerja/buruh.
(3)
Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah
perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.
Pasal
127
(1)
Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan
pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2)
Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka
ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku
adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal
128
Dalam
hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian
kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja
bersama.
Pasal
129
(1)
Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama
dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada
serikat pekerja/serikat buruh.
(2)
Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat
pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan
perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh
lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal
130
(1)
Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir
masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut
hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan
dalam Pasal 119.
(2)
Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir
masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut
terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal
120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja
bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan
bersamasama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja
bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional.
(3)
Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir
masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut
terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satu pun
serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1),
maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan
menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal
131
(1)
Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat
buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama
tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2)
Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan
masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian
kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih
menguntungkan pekerja/buruh.
(3)
Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger)
antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan
yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama
tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
Pasal
132
(1)
Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari
penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama
tersebut.
(2)
Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak
yang membuat perjanjian kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal
133
Ketentuan
mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran
perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
134
Dalam
mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal
135
Pelaksanaan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial
merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Bagian
Kedelapan
Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf
1
Perselisihan
Hubungan Industrial
Pasal
136
(1)
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib
dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2)
Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/
buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
diatur dengan undang-undang.
www.hukumonline.com
Paragraf
2
Mogok
Kerja
Pasal
137
Mogok
kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal
138
(1)
Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh
yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok
kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
(2)
Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal
139
Pelaksanaan
mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan
umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa
manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau
membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal
140
(1)
Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a.
waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri
mogok kerja;
b.
tempat mogok kerja;
c.
alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok
kerja; dan
d.
tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing
ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab
mogok kerja.
(3)
Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh
yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan
pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok
kerja.
(4)
Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan,
pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a.
melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila
dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
perusahaan.
Pasal
141
(1)
Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima
surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib
memberikan tanda terima.
(2)
Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah
yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya
dengan para pihak yang berselisih.
(3)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan
terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang berwenang.
(5)
Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok
kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau
dihentikan sama sekali.
Pasal
142
(1)
Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak
sah.
(2)
Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
143
(1)
Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh
dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang
dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
(2)
Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau
penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
144
Terhadap
mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140, pengusaha dilarang:
a.
mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan
pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b. memberikan
sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan
pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok
kerja.
Pasal
145
Dalam
hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.
Paragraf
3
Penutupan
Perusahaan (Lock Out)
Pasal
146
(1)
Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar
pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk
menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.
(2)
Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan
perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan
normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3)
Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
www.hukumonline.com
Pasal
147
Penutupan
perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan
jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat
pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan
gas bumi, serta kereta api.
Pasal
148
(1)
Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7
(tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a.
waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri
penutupan perusahaan (lock out); dan
b.
alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan
(lock out).
(3)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal
149
(1)
Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara
langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan
mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
(2)
Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out)
berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang
langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan
(lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang
berselisih.
(3)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan
terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
(5)
Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out)
dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
(6)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat
(1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila:
a.
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b.
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar
ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB
XII
PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA
Pasal
150
Ketentuan
mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan
kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus
dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Pasal
151
(1)
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh,
dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja.
(2)
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja
wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh.
(3)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal
152
(1)
Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan
secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2)
Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
apabila telah diundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3)
Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya
dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika
ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi
perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Pasal
153
(1)
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan alasan:
a.
pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit
menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan
secara terus-menerus;
b.
pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya
karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c.
pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya;
d.
pekerja/buruh menikah;
e.
pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan,
atau menyusui bayinya;
f.
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
g.
pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau
pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan
serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.
pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang
berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku,
warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.
pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat
kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat
keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2)
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal
154
Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:
a.
pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana
telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b.
pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri,
secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya
tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan
perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c.
pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan
ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh
meninggal dunia.
Pasal
155
(1)
Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2)
Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya.
(3)
Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap
wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal
156
(1)
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2)
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
a.
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan
upah;
b.
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari
2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c.
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3
(tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d.
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari
4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e.
masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari
5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f.
masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari
6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g.
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari
7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h.
masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari
8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i.
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan)
bulan upah.
(3)
Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a.
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari
6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b.
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari
9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c.
masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d.
masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e.
masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f.
masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g.
masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h.
masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10
(sepuluh ) bulan upah.
(4)
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a.
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan
keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.
penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5)
Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang
penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
157
(1)
Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang
seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas:
a.
upah pokok;
b.
segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang
diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari
catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu
harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih
antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2)
Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas
dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali
penghasilan sehari.
(3)
Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar
perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan
sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas)
bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum
Provinsi atau Kabupaten/Kota.
(4)
Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan
upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung
dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
Pasal
158
(1)
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat
sebagai berikut:
a.
melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang
dan/atau uang milik perusahaan;
b.
memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan
sehingga merugikan perusahaan;
c.
mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja;
d.
melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan
kerja;
e.
menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi
teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f.
membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g.
dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan
dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
h.
dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja
atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i.
membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j.
melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan
yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2)
Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
a.
pekerja/buruh tertangkap tangan;
b.
ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c.
bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh
pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3)
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan
alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4)
Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung,
selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4)
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal
159
Apabila
pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal
160
(1)
Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka
pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada
keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai
berikut:
a.
untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima
perseratus) dari upah;
b.
untuk 2 (dua) orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima
perseratus) dari upah;
c.
untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima
perseratus) dari upah;
d.
untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima
puluh perseratus) dari upah.
(2)
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama
pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
(3)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan
pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(4)
Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum
masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan
pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan
pekerja/buruh kembali.
(5)
Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum
masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6)
Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
(7)
Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang
mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1)
Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan
ketiga secara berturut-turut.
(2)
Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3)
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja
dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal
162
(1)
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri,
memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2)
Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan
sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara
langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3)
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.
mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.
tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c.
tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri.
(4)
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri
atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal
163
(1)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan,
peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak
bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan
perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di
perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal
164
(1)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan
memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2)
Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah
diaudit oleh akuntan publik.
(3)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua)
tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal
165
Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan
pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal
166
Dalam
hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan
perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1
(satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3),
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal
167
(1)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah
mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh
pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang
(1)
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2)
Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang
diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka
selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3)
Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh
dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan
pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun
yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
(5)
Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program
pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6)
Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak
pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
168
(1)
Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja
atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi
dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara
patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan
mengundurkan diri.
(2)
Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama
pekerja/buruh masuk bekerja.
(3)
Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal
169
(1)
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a.
menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja/buruh;
b.
membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c.
tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah
ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d.
tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/ buruh;
e.
memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan
di luar yang diperjanjikan; atau
f.
memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
(2)
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).
(3)
Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (3).
Pasal
170
Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal
168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang
bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal
171
Pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka
pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal
dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.
Pasal
172
Pekerja/buruh
yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
BAB
XIII
PEMBINAAN
Pasal
173
(1)
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan
kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan
organisasi profesi terkait.
(3)
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat
(2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.
Pasal
174
Dalam
rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat
buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional
di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal
175
(1)
Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang
atau lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2)
Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.
BAB
XIV
PENGAWASAN
Pasal
176
Pengawasan
ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai
kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundangundangan
ketenagakerjaan.
Pasal
177
Pegawai
pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal
178
(1)
Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja
tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota.
(2)
Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal
179
(1)
Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada
Menteri.
(2)
Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal
180
Ketentuan
mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal
181
Pegawai
pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 176 wajib:
a.
merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut
dirahasiakan;
b. tidak
menyalahgunakan kewenangannya.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal
182
(1)
Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang
khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berwenang:
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
c.
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d.
melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e.
melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain
tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f.
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g.
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup
bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3)
Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB
XVI
KETENTUAN
PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian
Pertama
Ketentuan
Pidana
Pasal
183
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal
184
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal
185
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80,
Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
tindak pidana kejahatan.
Pasal
186
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal
138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal
187
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat
(1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat
(1)
(2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3),
dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal
188
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat
(1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148,
dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal
189
Sanksi
pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban
pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau
pekerja/buruh.
Bagian
Kedua
Sanksi
Administratif
Pasal
190
(1)
Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi
administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1),
Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal
160 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berupa:
a.
teguran;
b.
peringatan tertulis;
c.
pembatasan kegiatan usaha;
d.
pembekuan kegiatan usaha;
e.
pembatalan persetujuan;
f.
pembatalan pendaftaran;
g.
penghentian sementara sebagian atau seluruh alat
produksi;
h.
pencabutan ijin.
(3)
Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB
XVII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
191
Semua
peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan undang-undang ini.
BAB
XVIII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
192
(1)
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
a.
Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk
Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
b.
Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang
Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor
647);
c.
Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak
Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
d.
Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk
Mengatur Kegiatan-kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor
208);
e.
Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau
Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
f.
Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja
Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
(2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
(3)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor
69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);
(4)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan
Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
(5)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja
Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2270);
(6)
Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan
Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang
Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
(7)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969
Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
(8)
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3702);
(9)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan
Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
(10)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042),
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal
193
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di
Jakarta,
Pada
Tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG
KESOWO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39
No comments:
Post a Comment